RAMUAN MIMPI DARI TUAN ALKEMIS
Zoel Ardi
—
Tuan Alkemis. Begitulah Alex
menyebutnya. Sosok lelaki tua botak berjanggut putih itu kini sedang
menatap lekat wajah Alex. Suasana di kamar Alex jadi terasa lengang. Ini
untuk pertama kalinya Alex akan terlibat sebuah percakapan dengan
orangtua asuhnya.
“E-Ada apa?” Alex yang duduk di tepi
kasur merasa gugup diperhatikan seperti itu. Tatapan itu cukup membuat
Alex bergidik ngeri, mengingat ia baru mengenal kakek tua itu beberapa
minggu yang lalu. Bahkan Alex tidak mengingat namanya.
Kakek tua itu
kemudian menoleh ke bawah, lehernya bergerak lembut bagaikan ular. Dari
sakunya, ia mengeluarkan sebotol cairan berwarna kuning. Cairan itu
berpendar di dalam remang-remang kamar Alex.
“Aku membawamu ke rumahku dengan harapan kau bisa membantuku.”
Alex memundurkan sedikit posisi duduknya. “Apa yang bisa kulakukan untukmu?”
Tuan Alkemis menyodorkan cairan itu ke Alex. “Minumlah!”
Alex hanya memancarkan gurat wajah curiga.
“Kenapa?” Pak tua itu semakin mencondongkan badannya. Wajahnya berubah menyedihkan.
“Kumohon jangan marah. Tapi bagaimana
bisa aku memastikan kalau cairan itu tidak beracun atau meledak –
mungkin.” Alex memegang lehernya, mengisyaratkan ingin muntah.
“Lihat!” Pak tua itu langsung meminum cairan itu, menyisakan setengah dari isinya. Glek-glek-glek! Sekali lagi, ia menyodorkan botol mungil itu kepada Alex. “Sekarang giliranmu.”
“Tapi, untuk apa aku meminumnya?”
Tuan Alkemis berusaha menahan
kesabarannya. Perlahan ia menarik kursi di belakangnya lalu menyingkap
jas laboratoriumnya sebelum duduk dengan nyaman. Alex memang anak
lelaki usia sebelas tahun yang cerdik dan keras kepala. Ia tidak mudah
menelan kata-kata orang yang belum ia kenal sepenuhnya. Kepandaiannya
pun sudah diakui seantero panti asuhan. Makanya, ia terpilih oleh Tuan
Alkemis yang kala itu sedang mencari anak untuk diadopsi.
“Well, namanya ramuan mimpi.” jelas Tuan Alkemis sambil menunjuk botol itu.
“Ramuan Mimpi?” nada suara Alex berubah penasaran.
“Tidak perlu diulang,” Pria itu menarik nafas. “Ketika kau meminumnya, mimpimu akan jadi kenyataan.”
Tuan Alkemis memalingkan wajahnya pada
botol itu. “Berpuluh-puluh tahun aku berusaha menemukan ramuan yang bisa
merubah dunia. Bahkan aku sampai mengimpor beberapa jenis alkohol
langka…”
“Bisakah kau langsung ke intinya. Aku benar-benar mengantuk.” sela Alex sambil menguap lebar.
“Sepertinya kau sudah mengerti.” sahut Tuan Alkemis agak malas.
“Ya. Jadi setelah kuminum ini,” Alex
merebut botol itu dari tangan Tuan Alkemis. “Kemudian aku tertidur dan
bermimpi. Setelah itu, esoknya semua mimpiku menjadi kenyataan. Begitu
kan?”
“Benar.”
“Lalu, kenapa aku harus menjadi kelinci percobaanmu sedangkan dirimu saja sudah cukup.”
“Aku sudah terlalu tua untuk bisa bermimpi.” Tuan Alkemis terlihat menunduk lesu.
Sesaat Alex mencoba mencerna perkataan tuan alkemis. “Maksudmu, kau tidak pernah mengalami bunga tidur?”
Alex menunggu jawaban dengan tampang
serius. Tapi Tuan Alkemis tetap diam sehingga Alex menerjemahkan bahwa
kakek tua itu memang benar tidak bisa bermimpi. Alex jadi kasihan
melihatnya. Hidupnya pasti begitu menyedihkan tanpa mimpi, pikir Alex.
Alex menatap ramuan mimpi yang sedang
digenggamnya. Kemudian tanpa diperintah lagi, Alex langsung menenggak
habis isi botol itu. Tuan Alkemis tersentak dan ekspresi wajahnya
berubah cerah.
“Sudah kuminum. Sekarang aku boleh
tidur?” Alex menyeka sisa-sisa cairan itu di sekitar mulutnya. Tuan
Alkemis mengangguk pelan dan beranjak dari tempat duduknya.
Terus terang saja, Alex sangat tidak
nyaman dengan keberadaan Tuan Alkemis di dalam kamarnya. Ia berharap
kakek tua itu segera pergi. Lagipula ia yakin sekali kalau cairan itu
hanya omong kosong dan tidak ada efeknya. Kesimpulannya, kakek tua
itulah yang sejatinya sedang bermimpi.
“Oh iya..” sahut Alex tiba-tiba. “Bagaimana jika aku bermimpi buruk malam ini?”
Tuan Alkemis terpaku sesaat di ambang pintu. “Aku sudah menyediakan penawarnya.”
Setelah itu Alex merebahkan tubuhnya di
atas kasurnya yang empuk dan menarik selimut hangatnya. Dari balik
selimutnya, Alex bisa melihat kakek tua itu menutup pintu kamarnya
dengan sangat hati-hati sebelum akhirnya hilang dari pandangan.
Bagi Alex, Tuan Alkemis tergolong orang
yang tidak waras. Sehari-hari pekerjaannya hanya di dalam laboratorium
rahasianya. Ia tidak pernah bergaul dengan Alex apalagi dengan
tetangganya. Dan sekarang ia merasa telah menciptakan ramuan yang bisa
mengubah dunia. Sungguh tidak masuk akal!
Tapi bagaimanapun juga Tuan Alkemis
tetaplah ayah asuh Alex. Ia selalu memerhatikan kebutuhan Alex sebagai
seorang anak : pakaian, sarapan sereal, dan sepatu tali keren yang bisa
dipamerkan Alex pada teman-temannya.
Malam itu Alex langsung tertidur lelap.
Suara angin yang bergesekan dengan kaca jendela, menghasilkan irama
ritmik kesunyian. Imajinasi dan fantasi mulai melayang sekelabatan dalam
pikiran Alex. Ilusi fiksi itu kemudian membentuk kerangka-kerangka
visual yang disebut mimpi. Sementara Alex asyik di dalamnya sebagai
tokoh utama. Beberapa hewan, seperti gajah berwarna kuning dan
burung-burung beterbangan menghiasi bunga tidurnya. Hingga kemudian ia
merasa ada yang meraba-raba tubuhnya, menusuk-nusuk hidungnya, dan
memukul-mukul dahinya lembut. Membuatnya terjaga lebih awal dari
biasanya, tepat ketika kilau mentari menyingkirkan pesona bulan.
“Alex…”
Alex menggeliat malas. Matanya dipaksa
untuk membuka ketika mendengar suara yang membisikan namanya. Setelah
mengumpulkan kesadarannya, ia mencoba bangkit dari tidurnya. Entah
mengapa, pagi ini tempat tidurnya terasa lebih sesak dari biasanya.
“Haaahh!” teriak Alex menggema ketika matanya menangkap sosok anak gajah berwarna kuning di sebelahnya.
“Alex…” lirih anak gajah itu.
“Eng…” Alex tercekat.
“Panggil aku Leon…” gajah itu tidak memiliki gading, belalainya menjuntai di atas kasur.
“Katakan kalau aku masih bermimpi!” Alex menjauh.
“Tenang, aku tidak jahat dan kau tidak bermimpi. Aku sendiri tidak tahu kenapa bisa terdampar di kamarmu.”
Alex beranjak dari kasurnya. Ia mencubit pipinya cukup keras. “Auuu!!”
“Sudah kukatakan, ini nyata.” Leon turut beranjak, berdiri di sisi lain tempat tidur.
“Bagaimana kau tahu namaku?”
“Tercetak di dahimu.” Leon menunjuk kepala Alex dengan ujung belalainya.
Alex lalu melihat bayangannya di cermin seukuran pintu yang terpajang di belakang Leon. Benar. Dahinya bertuliskan ‘Mimpi Alex’ dengan tinta berwarna ungu.
Alex mendekat ke depan cermin itu. “Sejak kapan pintu kamarku berubah menjadi cermin?”
“Sejak kau dan aku terbangun di atas
kasurmu. Entahlah.” Leon ikut bercermin. Ia bisa melihat kepala bulatnya
setara dengan dada Alex. “Kuharap kau bisa mengembalikanku ke duniaku.”
Alex terlihat berpikir sejenak. “Tuan Alkemis. Dia memiliki penawarnya.”
Alex meraih gagang pintu cermin itu.
Matanya menerawang membayangkan betapa Tuan Alkemis berbahagia dengan
keberhasilan eksperimennya. Ini memang luar biasa, tapi terlalu gila!
Meskipun Alex hanya seorang bocah, tapi mimpinya tidak sesederhana
bermain layang-layang. Lebih kompleks!
Sekawanan gagak putih menerobos masuk
ketika pintu cermin itu dibuka. Alex dan Leon sampai kelabakan
dibuatnya. Gagak-gagak itu berkoar-koar seperti sedang dikejar binatang
buas. Lalu mereka terhimpun membentuk gumpalan putih besar yang
selanjutnya lenyap menjadi asap.
Selanjutnya yang membuat Alex hampir
pingsan adalah ketika melihat pemandangan di luar kamarnya. Baru
menjejakan kakinya selangkah, Leon buru-buru menariknya kembali ke
belakang – dengan belalainya. “Itu jurang hitam!”
Detak jantung Alex nyaris berhenti
karena terkejut. Di depannya tidak ada ruang tamu, yang ada hanya jurang
gelap dan kelam. Begitu dalam, seakan tidak ada dasarnya. “Dimana ruang
tamuku?”
“Mana aku tahu. Bukankah ini mimpimu.” Leon menyentuhkan ujung belalainya pada dahi Alex. “Mimpi Alex!”
Alex mengatur nafasnya, mencoba mengingat-ingat apa yang terjadi di dalam mimpinya tadi malam.
“Kenapa kau malah diam saja?” Leon tampak tidak sabar.
“Kau tidak lihat. Aku sedang berpikir keras.” dahi Alex sampai mngernyit. “Semua ini persis dengan mimpiku semalam.”
“Lalu bagaimana. Kau ingat sesuatu?” tanya Leon penasaran.
Alex menghela nafas. “Sayangnya tidak. Hanya seekor gajah berwarna kuning menyala.”
“Itu aku!” timpal Leon. “Hanya itu?”
Alex mengangguk sementara Leon menggerutu kesal.
“Hey.” Alex menunjuk ke seberang jurang.
“Tangga itu seharusnya membawa kita ke lantai dua. Lalu di sana ada
laboratorium Tuan Alkemis.”
“Bagaimana kau begitu yakin. Bisa saja mimpimu malah merubah laboratorium itu menjadi neraka.” Rutuk Leon.
“Kita tidak akan tahu sebelum mencoba.”
Alex beralih ke lemari bajunya yang
berada di sudut kamarnya. Ia berharap bisa menemukan sesuatu yang
berharga di sana. Leon mengekornya dan masih saja menggerutu tentang
bagaimana mereka bisa sampai ke seberang.
“Bagaimana?” nada suara Leon terdengar gelisah.
“Lemarinya terkunci!” Alex mulai panik.
Ia bergegas ke sisi tempat tidurnya. Seingatnya ia menyimpan kunci
lemari di dalam laci meja belajarnya. “Ketemu!”
Tapi sebelum Alex membalikan badannya,
sebuah auman besar muncul dari dalam jurang hitam. Mirip suara serigala
tengah malam yang sering muncul dalam film horror di TV. Tapi yang ini
lebih memekakkan.
Tubuh gembul Leon sampai menggigil
ketakutan. Tapi ia berusaha mengontrol dirinya dan mencoba mengintip ke
dasar jurang hitam dari ambang pintu cermin. “Naga Serigalaaa!!”
Alex hanya menengok sesaat sebelum
kembali menuju lemari baju. Ia melihat sekilas seekor naga berwarna
merah berkepala serigala sedang meliuk-liuk di udara di dalam jurang
hitam. Wajahnya yang kelabu menyeringai memandang ke atas, ke arah Alex.
Auuuuuuuuum!!
Auman itu seolah menjadi alarm bagi Alex
untuk segera membuka lemari bajunya. Instingnya mengatakan bahwa ada
sesuatu yang bisa menyelamatkannya di dalam lemari itu.
“Cepat! Naga itu semakin mendekat!”
teriakan Leon membuat Alex bergetar panik. Tapi Alex berhasil memasukan
kunci pada cobaan pertama.
“Hahh?!” Alex menganga melihat isi
lemarinya hanya berisi baju-bajunya yang menggantung rapi. Terlalu tidak
wajar untuk ukuran mimpi. Kenapa hanya lemari ini yang baik-baik saja.
“Tidaaak!”
Sementara Leon terus berjaga-jaga dengan
kedatangan Naga Serigala itu, Alex malah gusar seperti orang kerasukan.
Ia mengacak-ngacak isi lemari hingga pakaian-pakaian di dalamnya
meloncat keluar, berserakan di lantai. Tapi setelah itu Leon mematung.
“Hey kau sudah gila. Dia dataaaang!”
Kesabaran Leon sudah di ambang batas. Ia lalu menghampiri Alex yang diam
saja seperti orang tuli.
“Tombol itu…” ucap Alex seraya menunjuk ke dalam lemarinya yang telah kosong dengan pakaian.
Mata Leon mengikuti kemana tangan Alex menunjuk. Sebuah tombol bulat merah seukuran kepala menempel di dinding lemari. Tapi..
“Ada tulisan ‘Jangan Disentuh’.” Leon melempar pandangan ragu.
Alex menarik nafas panjang. “Kita tidak akan tahu sebelum mencoba.”
Auuuuuuuummm!!
Seolah-olah Naga Serigala itu sudah
berada sangat dekat dengan kamar Alex karena aumannya membuat sekujur
ruangan berguncang hebat.
“Tidak ada waktu lagi!” teriakan Leon berbarengan dengan tangan Alex yang resmi menekan tombol itu.
Buuuusss!!
Mendadak kamar Alex melesat kencang
menuju tangga di seberang jurang bagaikan gerakan Lift. Tapi lift yang
satu ini bergerak secara horizontal dan extra cepat. Alex sampai
terlempar ke luar kamar dan tepat mendarat di anak tangga pertama.
Sedangkan Leon tersangkut di mulut pintu karena ukuran tubuhnya terlalu
lebar. Tapi ia segera bangkit, memaksakan keluar dari pintu hingga
akhirnya berhasil.
“Kau tidak apa-apa Leon?” tanya Alex khawatir.
Leon hanya mengangguk pelan. Badannya tersayat pecahan pintu cermin , meneteskan darah segar.
“Bertahanlah, sebentar lagi kita akan bertemu dengan Tuan Alkemis.” Ucap Alex.
Mereka mulai menapaki anak tangga dengan
sangat hati-hati. Berjaga-jaga bila ada jebakan tak terduga di setiap
pijakan. Dari jauh, Alex terus memantau keadaan kamarnya yang sudah
berantakan. Yang ia takutkan, naga serigala itu tiba-tiba muncul dari
lantai kamarnya dan kembali mengejar mereka. Tapi, sampai pada anak
tangga terakhir, mereka tidak melihat tanda-tanda kemunculan naga
serigala. Alex menghela nafas lega. “Syukurlah.”
“Sekarang bisakah kau menunjukkan dimana laboratorium tuan alkemis itu?”
Alex melayangkan pandangan ke sekujur
ruangan. Tentu saja yang diharapkannya adalah lantai kayu dan dinding
kusam dimana ruang lab Tuan Alkemis berada. Tapi yang ada di depan
matanya malah semacam koridor hotel dengan lantai dilapisi karpet merah
panjang. Dinding-dindingnya dihiasi lukisan-lukisan bergambar botol
ramuan beraneka warna. Lampu-lampu berbentuk bintang menggantung di
atapnya, berkelap-kelip begitu indah.
“Mungkin labnya sudah pindah ke sana.” Alex menunjuk ke ujung lorong, pintu beraksen perak berdiri tegak.
Entah kenapa Alex seperti mendengar
dinding lorong itu berderak bagaikan tangga berkarat yang rapuh.
Membuatnya semakin waspada menyusuri tiap jejak lorong panjang itu. Leon
sendiri tidak mampu lagi menyembunyikan ketakutannya. Ia mengaitkan
belalainya pada tangan Alex seolah butuh perlindungan.
“Alex..” bisik Leon, masih memandang gelisah tiap inchi dinding lorong.
“Ya?” sahut Alex Lirih.
“Apa kau merasakan ada yang aneh dengan tempat ini?”
Alex menggeleng ragu.
“Rasanya lukisan-lukisan itu mendekati kita…” Leon mengamati dinding berwarna merah itu lalu beradu pandang dengan Alex.
“Dindingnya bergeraaaak!” teriak Alex da Leon bersamaan.
“Lariiiiii!”
Alex dan Leon berusaha berlari secepat
yang mereka mampu, menyusuri lorong panjang itu. Tapi semakin mereka
berlari, dinding itu terasa semakin bergerak ke arah mereka. Baju Alex
basah karena keringatnya merembes deras. Lukisan-lukisan di dinding
lorong itu berjatuhan, botol-botol ramuan yang ada di dalamnya meloncat
keluar dari lukisan dan pecah berhamburan membasahi karpet lantai.
“Cepat, Alex!!” Leon tersengal-sengal sambil mengguncangkan tubuh Alex ketika akhirnya mereka sampai di depan pintu perak itu.
Alex meraih gagang pintu dengan tergesa dan menggerakkanya, “Lagi-lagi terkunci?!”
“Ahhh!!” Leon menggeram bercampur rasa
panik luar biasa. Dilihatnya dinding lorong itu semakin mendekat ke arah
mereka dan rasanya beberapa saat lagi akan menghimpit tubuh mereka.
“Tunggu. Lihat ini!” Leon menatap gagang
pintu berbentuk botol ramuan itu yang di dalamnya berbuih cairan bening
mengilap. “Tertulis : ‘Teteskan Darahmu’.”
Tanpa pikir panjang, Alex menggigit ibu
jarinya, meneteslah darah segar darinya. Kemudian tetesan darahnya
dimasukan ke dalam botol itu. Darahnya lalu ikut melarut dengan cairan
bening di dalamnya. Lambat laun cairan itu berubah menjadi merah darah.
Alex dan Leon was-was menunggu reaksi yang akan terjadi.
“Pintunya tetap terkunci.” Alex mendengus kesal.
“Biar kucoba!” Leon menyentuhkan
belalainya pada bagian tubuhnya yang tersayat dan berbekas darah, lalu
meneteskan darahnya ke dalam botol ramuan itu. Cairan di dalam botol itu
meledak-ledak dan mengeluarkan asap pekat. Seketika terdengar suara
pintu berderit seolah sudah lama tidak dibuka. Pintu perak itu terbuka
perlahan seiring suara berderak-derak dinding dan botol-botol berjatuhan
ke lantai.
“Dindingnya akan membunuh kita!” Leon didesak rasa cemas, dinding itu telah resmi menyentuh sisi tubuh gempalnya.
“Aku sedang mencoba,” Alex mendorong
pintu perak setebal tiga inchi itu sekuat tenaga. “Sia-sia. Pintunya
bergerak terlalu pelan!!”
“Siaal!” Leon terus menepi pada Alex. Dinding itu tidak tinggal diam, seakan mengikuti tiap langkah Leon. “Kita akan mati!”
“Sudah terbuka.” Alex langsung melompat masuk melewati celah pintu seukuran badannya. “Aku akan menariknya dari dalam.”
“Cepatlah!!”
Hanya tinggal beberapa jengkal lagi, dinding itu akan menjepit tubuh Leon dengan sempurna.
“Ahhhh!” teriak Alex memfokuskan segala tenaganya pada pintu perak itu. “Berhasil!”
Pintu itu akhirnya terbuka sepenuhnya ketika tubuh Leon tersangkut dalam himpitan dinding pembunuh itu. “Tolooong!!”
Alex tidak berhenti sampai di situ, ia
harus segera menyelamatkan Leon. Dengan sisa-sisa tenaganya, ia menarik
belalai Leon agar gajah itu keluar dari himpitan dinding bergerak itu.
Buuk!!
Alex terhempas ke dalam ruangan ketika tubuh Leon terbebas dari dinding itu dan menubruknya cukup kencang.
“Yeah.. Aku selamat!” Leon berjingkat-jingkat penuh kelegaan.
Alex mengatur nafasnya yang naik turun
sambil matanya menelusuri tiap sudut ruangan itu. Ruangan itu seluas
kamar tidurnya. Kosong pada bagian tengahnya, tapi ada meja-meja panjang
berwarna putih bertengger di tiap sisinya , seperti yang pernah ia
lihat di dapur panti asuhan. Ruangan itu putih bersih, kecuali
botol-botol berisi cairan beraneka warna yang terpajang di atas meja
panjang itu. Lalu sebaris dengan botol-botol itu adalah kotak-kotak kaca
berisi organ-organ tubuh manusia melayang dalam cairan pekat. Meski
agak ketakutan, Alex harus tetap melangkah karena ia yakin pada barisan
ramuan itu ada ramuan penawar yang dikatakan Tuan Alkemis. Tiba-tiba
saja Alex teringat dengan Tuan Alkemis. Dimana dia, batinnya.
“Leon, aku akan memeriksa ramuan-ramuan di sebelah kiri dan kau di sebelah kanan. Mengerti?” tegas Alex.
Leon menyetujui dengan anggukan pelan.
Mereka pun mulai menyusuri satu per satu ramuan di atas meja panjang
itu. Alex merasa lega ketika melihat pada setiap botol tertera tulisan
yang menunjukan identitas ramuan itu. Setidaknya itu memudahkannya
menemukan ramuan penawar mimpi.
Tapi beberapa menit berlalu, Alex mulai
kesal karena ramuan yang dicarinya tidak kunjung ketemu. Yang ada malah
ramuan-ramuan aneh yang lebih tidak masuk di akal :
Ramuan Pengecil Tubuh
Ramuan Pengubah Suara
Ramuan Penambah Berat Badan…
Sampai akhirnya Alex melihat sebuah botol berisi cairan berwarna hitam tidak jauh darinya, tertulis : Antidote Ramuan Mimpi. “Itu dia.”
Tapi baru saja ia ingin menggapai ramuan
itu, terdengar suara botol pecah di belakangnya. “Ada apa,
Leon?” Alex menoleh ke sumber suara.
Rupanya Leon baru saja menenggak sebotol
ramuan berwarna keemasan. Alex bisa melihat tulisan yang tertera pada
pecahan botol itu : Ramuan Pengembali Jasad.
“Apa yang kau minum?” Alex menghampiri Leon.
Seketika terjadi reaksi pada tubuh gajah
kecil itu. Belalainya berkedut ringan, menciut, lalu terbenam pada
wajah bulatnya. Kaki-kakinya juga ikut menciut dan warnanya berubah
menjadi kuning langsat hingga tidak terlihat seperti kaki gajah lagi,
tapi lebih mirip seperti tangan dan kaki keriput manusia. Ekor
panjangnya memendek hingga akhirnya lenyap begitu saja. Tubuhnya yang
gempal kini benar-benar mengecil menyerupai tubuh seorang manusia. Alex
begitu terperangah ketika Leon telah berubah wujud menjadi sosok yang
sangat ia kenal. Sosok kakek tua berkepala botak dengan jas
laboratorium.
“Tuan Alkemis?!” spontan Alex berteriak kaget.
“Ssstt, jangan berisik!” kakek tua itu memicingkan matanya.
“Apa maksud semua ini?” Alex disergap kebingungan.
“Kau harusnya tahu sejak awal.” Tuan Alkemis perlahan mendekat.
Alex menatap dengan pandangan tak percaya, “Kau adalah Tuan Alkemis.”
“Hehehe. Laboratorium ini hanya bisa
dibuka oleh pemiliknya, anak bodoh.” Senyum kelicikan mengembang di
bibir kakek tua itu. Alex langsung teringat bagaimana darah Leon mampu
membuka pintu laboratorium itu.
“Apa yang kau inginkan?” Alex terpaku dalam ketegangan.
“Jika saja aku bisa bermimpi, aku tidak
perlu repot-repot menggunakan jasamu.” Tuan Alkemis mengelus kepala
Alex. “Yang kubutuhkan hanya setetes cairan otakmu, anakku. Dengan
begitu aku bisa mengendalikan mimpimu.”
Meski ketakutan mulai menjalari
tubuhnya, Alex tidak bisa mematung begitu saja. Tinggal selangkah lagi
ia akan terbebas dari mimpi aneh ini. Dengan cepat Alex berbalik dan
menghampiri meja di belakangnya. Ramuan hitam itu harus menjadi
miliknya.
“Terlambat!”
Alex begitu terkejut ketika Tuan Alkemis
dengan cepat mendahuluinya dan botol itu sudah berada di tangannya.
Gerakannya mungkin melebihi kecepatan cahaya.
“Kau heran?” Tuan Alkemis terkekeh. “Ternyata sebotol Ramuan Kecepatan cukup membantu.”
Tuan Alkemis seakan memainkan tempo permainannya. Ia melangkah mundur dan memamerkan ramuan penawar di tangannya.
“Kembalikaaan!!” Alex berteriak pasrah.
Tiba-tiba permainan mereka terhenti
ketika auman naga serigala itu muncul lagi. Sekujur ruangan mulai
mengalirkan getaran akibat auman itu.
Auuuuuu!!
Naga Serigala itu tiba-tiba muncul dari
dasar lantai dan langsung membawa tubuh Tuan Alkemis ke angkasa. Alex
bisa melihat Tuan Alkemis meronta-ronta minta pertolongan tapi Naga
Serigala itu melahapnya tanpa ampun. Kemudian tiba-tiba dari atas sana,
dimana Naga tu berada, Alex melihat kilau cahaya jatuh perlahan
mendekatinya. Dengan cekatan Alex menangkap cahaya itu yang rupanya
sebuah botol bertuliskan ‘Antidote Ramuan Mimpi’. Kontan wajah Alex
berubah cerah. Lalu tanpa basa-basi ia langsung menenggak cairan itu
hingga tak tersisa.
***
“Alex.” Bisik Bibi Lupita, pemilik panti asuhan dimana Alex tinggal.
Alex mengerjapkan matanya, lamunannya buyar seketika.
“Ini Tuan Leon Collette.” Bibi Lupita memperkenalkan seorang pria tua di hadapannya. “Pria inilah yang akan mengadopsimu.”
Di hadapan Alex, berdiri sesosok kakek tua berkepala botak yang sangat ia kenal. Tuan Alkemis.
“Maaf, aku tidak mau diadopsi, “ ujar Alex. “Aku rasa aku sudah betah berada di panti asuhan ini.”
“Dan lagipula, aku tidak ingin berhenti bermimpi.” tukas Alex.