Minggu, 24 Juni 2012

RAMUAN MIMPI DARI TUAN ALKEMIS

RAMUAN MIMPI DARI TUAN ALKEMIS

Zoel Ardi

Tuan Alkemis. Begitulah Alex menyebutnya. Sosok lelaki tua botak berjanggut putih itu kini sedang menatap lekat wajah Alex. Suasana di kamar Alex jadi terasa lengang. Ini untuk pertama kalinya Alex akan terlibat sebuah percakapan dengan orangtua asuhnya.
“E-Ada apa?” Alex yang duduk di tepi kasur merasa gugup diperhatikan seperti itu. Tatapan itu cukup membuat Alex bergidik ngeri, mengingat ia baru mengenal kakek tua itu beberapa minggu yang lalu. Bahkan Alex tidak mengingat namanya.
Kakek tua itu kemudian menoleh ke bawah, lehernya bergerak lembut bagaikan ular. Dari sakunya, ia mengeluarkan sebotol cairan berwarna kuning. Cairan itu berpendar di dalam remang-remang kamar Alex.
“Aku membawamu ke rumahku dengan harapan kau bisa membantuku.”
Alex memundurkan sedikit posisi duduknya. “Apa yang bisa kulakukan untukmu?”
Tuan Alkemis menyodorkan cairan itu ke Alex. “Minumlah!”
Alex hanya memancarkan gurat wajah curiga.
“Kenapa?” Pak tua itu semakin mencondongkan badannya. Wajahnya berubah menyedihkan.
“Kumohon jangan marah. Tapi bagaimana bisa aku memastikan kalau cairan itu tidak beracun atau meledak – mungkin.” Alex memegang lehernya, mengisyaratkan ingin muntah.
“Lihat!” Pak tua itu langsung meminum cairan itu, menyisakan setengah dari isinya. Glek-glek-glek! Sekali lagi, ia menyodorkan botol mungil itu kepada Alex. “Sekarang giliranmu.”
“Tapi, untuk apa aku meminumnya?”
Tuan Alkemis berusaha menahan kesabarannya. Perlahan ia menarik kursi di belakangnya lalu menyingkap jas laboratoriumnya sebelum duduk  dengan nyaman. Alex memang anak lelaki usia sebelas tahun yang cerdik dan keras kepala. Ia tidak mudah menelan kata-kata orang yang belum ia kenal sepenuhnya. Kepandaiannya pun sudah diakui seantero panti asuhan. Makanya, ia terpilih oleh Tuan Alkemis yang kala itu sedang mencari anak untuk diadopsi.
Well, namanya ramuan mimpi.” jelas Tuan Alkemis sambil menunjuk botol itu.
“Ramuan Mimpi?” nada suara Alex berubah penasaran.
“Tidak perlu diulang,” Pria itu menarik nafas. “Ketika kau meminumnya, mimpimu akan jadi kenyataan.”
Tuan Alkemis memalingkan wajahnya pada botol itu. “Berpuluh-puluh tahun aku berusaha menemukan ramuan yang bisa merubah dunia. Bahkan aku sampai mengimpor beberapa jenis alkohol langka…”
“Bisakah kau langsung ke intinya. Aku benar-benar mengantuk.” sela Alex sambil menguap lebar.
“Sepertinya kau sudah mengerti.” sahut Tuan Alkemis agak malas.
“Ya. Jadi setelah kuminum ini,” Alex merebut botol itu dari tangan Tuan Alkemis. “Kemudian aku tertidur dan bermimpi. Setelah itu, esoknya semua mimpiku menjadi kenyataan. Begitu kan?”
“Benar.”
“Lalu, kenapa aku harus menjadi kelinci percobaanmu sedangkan dirimu saja sudah cukup.”
“Aku sudah terlalu tua untuk bisa bermimpi.” Tuan Alkemis terlihat menunduk lesu.
Sesaat Alex mencoba mencerna perkataan tuan alkemis. “Maksudmu, kau tidak pernah mengalami bunga tidur?”
Alex menunggu jawaban dengan tampang serius. Tapi Tuan Alkemis tetap diam sehingga Alex menerjemahkan bahwa kakek tua itu memang benar tidak bisa bermimpi. Alex jadi kasihan melihatnya. Hidupnya pasti begitu menyedihkan tanpa mimpi, pikir Alex.
Alex menatap ramuan mimpi yang sedang digenggamnya. Kemudian tanpa diperintah lagi, Alex langsung menenggak habis isi botol itu. Tuan Alkemis tersentak dan ekspresi wajahnya berubah cerah.
“Sudah kuminum. Sekarang aku boleh tidur?” Alex menyeka sisa-sisa cairan itu di sekitar mulutnya. Tuan Alkemis mengangguk pelan dan beranjak dari tempat duduknya.
Terus terang saja, Alex sangat tidak nyaman dengan keberadaan Tuan Alkemis di dalam kamarnya. Ia berharap kakek tua itu segera pergi. Lagipula ia yakin sekali kalau cairan itu hanya omong kosong dan tidak ada efeknya. Kesimpulannya, kakek tua itulah yang sejatinya sedang bermimpi.
“Oh iya..” sahut Alex tiba-tiba. “Bagaimana jika aku bermimpi buruk malam ini?”
Tuan Alkemis terpaku sesaat di ambang pintu. “Aku sudah menyediakan penawarnya.”
Setelah itu Alex merebahkan tubuhnya di atas kasurnya yang empuk dan menarik selimut hangatnya. Dari balik selimutnya, Alex bisa melihat kakek tua itu menutup pintu kamarnya dengan sangat hati-hati sebelum akhirnya hilang dari pandangan.
Bagi Alex, Tuan Alkemis tergolong orang yang tidak waras. Sehari-hari pekerjaannya hanya di dalam laboratorium rahasianya. Ia tidak pernah bergaul dengan Alex apalagi dengan tetangganya. Dan sekarang ia merasa telah menciptakan ramuan yang bisa mengubah dunia. Sungguh tidak masuk akal!
Tapi bagaimanapun juga Tuan Alkemis tetaplah ayah asuh Alex. Ia selalu memerhatikan kebutuhan Alex sebagai seorang anak : pakaian, sarapan sereal, dan sepatu tali keren yang bisa dipamerkan Alex pada teman-temannya.
Malam itu Alex langsung tertidur lelap. Suara angin yang bergesekan dengan kaca jendela, menghasilkan irama ritmik kesunyian. Imajinasi dan fantasi mulai melayang sekelabatan dalam pikiran Alex. Ilusi fiksi itu kemudian membentuk kerangka-kerangka visual yang disebut mimpi. Sementara Alex asyik di dalamnya sebagai tokoh utama. Beberapa hewan, seperti gajah berwarna kuning dan burung-burung beterbangan menghiasi bunga tidurnya. Hingga kemudian ia merasa ada yang meraba-raba tubuhnya, menusuk-nusuk hidungnya, dan memukul-mukul dahinya lembut. Membuatnya terjaga lebih awal dari biasanya, tepat ketika kilau mentari menyingkirkan pesona bulan.
“Alex…”
Alex menggeliat malas. Matanya dipaksa untuk membuka ketika mendengar suara yang membisikan namanya. Setelah mengumpulkan kesadarannya, ia mencoba bangkit dari tidurnya. Entah mengapa, pagi ini tempat tidurnya terasa lebih sesak dari biasanya.
“Haaahh!” teriak Alex menggema ketika matanya menangkap sosok anak gajah berwarna kuning di sebelahnya.
“Alex…” lirih anak gajah itu.
“Eng…” Alex tercekat.
“Panggil aku Leon…” gajah itu tidak memiliki gading, belalainya menjuntai di atas kasur.
“Katakan kalau aku masih bermimpi!” Alex menjauh.
“Tenang, aku tidak jahat dan kau tidak bermimpi. Aku sendiri tidak tahu kenapa bisa terdampar di kamarmu.”
Alex beranjak dari kasurnya. Ia mencubit pipinya cukup keras. “Auuu!!”
“Sudah kukatakan, ini nyata.” Leon turut beranjak, berdiri di sisi lain tempat tidur.
“Bagaimana kau tahu namaku?”
“Tercetak di dahimu.” Leon menunjuk kepala Alex dengan ujung belalainya.
Alex lalu melihat bayangannya di cermin seukuran pintu yang terpajang di belakang Leon. Benar. Dahinya bertuliskan ‘Mimpi Alex’ dengan tinta berwarna ungu.
Alex mendekat ke depan cermin itu. “Sejak kapan pintu kamarku berubah menjadi cermin?”
“Sejak kau dan aku terbangun di atas kasurmu. Entahlah.” Leon ikut bercermin. Ia bisa melihat kepala bulatnya setara dengan dada Alex. “Kuharap kau bisa mengembalikanku ke duniaku.”
Alex terlihat berpikir sejenak. “Tuan Alkemis. Dia memiliki penawarnya.”
Alex meraih gagang pintu cermin itu. Matanya menerawang membayangkan betapa Tuan Alkemis berbahagia dengan keberhasilan eksperimennya. Ini memang luar biasa, tapi terlalu gila! Meskipun Alex hanya seorang bocah, tapi mimpinya tidak sesederhana bermain layang-layang. Lebih kompleks!
Sekawanan gagak putih menerobos masuk ketika pintu cermin itu dibuka. Alex dan Leon sampai kelabakan dibuatnya. Gagak-gagak itu berkoar-koar seperti sedang dikejar binatang buas. Lalu mereka terhimpun membentuk gumpalan putih besar yang selanjutnya lenyap menjadi asap.
Selanjutnya yang membuat Alex hampir pingsan adalah ketika melihat pemandangan di luar kamarnya. Baru menjejakan kakinya selangkah, Leon buru-buru menariknya kembali ke belakang – dengan belalainya. “Itu jurang hitam!”
Detak jantung Alex nyaris berhenti karena terkejut. Di depannya tidak ada ruang tamu, yang ada hanya jurang gelap dan kelam. Begitu dalam, seakan tidak ada dasarnya. “Dimana ruang tamuku?”
“Mana aku tahu. Bukankah ini mimpimu.” Leon menyentuhkan ujung belalainya pada dahi Alex. “Mimpi Alex!”
Alex mengatur nafasnya, mencoba mengingat-ingat apa yang terjadi di dalam mimpinya tadi malam.
“Kenapa kau malah diam saja?” Leon tampak tidak sabar.
“Kau tidak lihat. Aku sedang berpikir keras.” dahi Alex sampai mngernyit. “Semua ini persis dengan mimpiku semalam.”
“Lalu bagaimana. Kau ingat sesuatu?” tanya Leon penasaran.
Alex menghela nafas. “Sayangnya tidak. Hanya seekor gajah berwarna kuning menyala.”
“Itu aku!” timpal Leon. “Hanya itu?”
Alex mengangguk sementara Leon menggerutu kesal.
“Hey.” Alex menunjuk ke seberang jurang. “Tangga itu seharusnya membawa kita ke lantai dua. Lalu di sana ada laboratorium Tuan Alkemis.”
“Bagaimana kau begitu yakin. Bisa saja mimpimu malah merubah laboratorium itu menjadi neraka.” Rutuk Leon.
“Kita tidak akan tahu sebelum mencoba.”
Alex beralih ke lemari bajunya yang berada di sudut kamarnya. Ia berharap bisa menemukan sesuatu yang berharga di sana. Leon mengekornya dan masih saja menggerutu tentang bagaimana mereka bisa sampai ke seberang.
“Bagaimana?” nada suara Leon terdengar gelisah.
“Lemarinya terkunci!” Alex mulai panik. Ia bergegas ke sisi tempat tidurnya. Seingatnya ia menyimpan kunci lemari di dalam laci meja belajarnya. “Ketemu!”
Tapi sebelum Alex membalikan badannya, sebuah auman besar muncul dari dalam jurang hitam. Mirip suara serigala tengah malam yang sering muncul dalam film horror di TV. Tapi yang ini lebih memekakkan.
Tubuh gembul Leon sampai menggigil ketakutan. Tapi ia berusaha mengontrol dirinya dan mencoba mengintip ke dasar jurang hitam dari ambang pintu cermin. “Naga Serigalaaa!!”
Alex hanya menengok sesaat sebelum kembali menuju lemari baju. Ia melihat sekilas seekor naga berwarna merah berkepala serigala sedang meliuk-liuk di udara di dalam jurang hitam. Wajahnya yang kelabu menyeringai memandang ke atas, ke arah Alex.
Auuuuuuuuum!!
Auman itu seolah menjadi alarm bagi Alex untuk segera membuka lemari bajunya. Instingnya mengatakan bahwa ada sesuatu yang bisa menyelamatkannya di dalam lemari itu.
“Cepat! Naga itu semakin mendekat!” teriakan Leon membuat Alex bergetar panik. Tapi Alex berhasil memasukan kunci pada cobaan pertama.
“Hahh?!” Alex menganga melihat isi lemarinya hanya berisi baju-bajunya yang menggantung rapi. Terlalu tidak wajar untuk ukuran mimpi. Kenapa hanya lemari ini yang baik-baik saja. “Tidaaak!”
Sementara Leon terus berjaga-jaga dengan kedatangan Naga Serigala itu, Alex malah gusar seperti orang kerasukan. Ia mengacak-ngacak isi lemari hingga pakaian-pakaian di dalamnya meloncat keluar, berserakan di lantai. Tapi setelah itu Leon mematung.
“Hey kau sudah gila. Dia dataaaang!” Kesabaran Leon sudah di ambang batas. Ia lalu menghampiri Alex yang diam saja seperti orang tuli.
“Tombol itu…” ucap Alex seraya menunjuk ke dalam lemarinya yang telah kosong dengan pakaian.
Mata Leon mengikuti kemana tangan Alex menunjuk. Sebuah tombol bulat merah seukuran kepala menempel di dinding lemari. Tapi..
“Ada tulisan ‘Jangan Disentuh’.” Leon melempar pandangan ragu.
Alex menarik nafas panjang. “Kita tidak akan tahu sebelum mencoba.”

Auuuuuuuummm!!
Seolah-olah Naga Serigala itu sudah berada sangat dekat dengan kamar Alex karena aumannya membuat sekujur ruangan berguncang hebat.
“Tidak ada waktu lagi!” teriakan Leon berbarengan dengan tangan Alex yang resmi menekan tombol itu.

Buuuusss!!
Mendadak kamar Alex melesat kencang menuju tangga di seberang jurang bagaikan gerakan Lift. Tapi lift yang satu ini bergerak secara horizontal dan extra cepat. Alex sampai terlempar ke luar kamar dan tepat mendarat di anak tangga pertama. Sedangkan Leon tersangkut di mulut pintu karena ukuran tubuhnya terlalu lebar. Tapi ia segera bangkit, memaksakan keluar dari pintu hingga akhirnya berhasil.
“Kau tidak apa-apa Leon?” tanya Alex khawatir.
Leon hanya mengangguk pelan. Badannya tersayat pecahan pintu cermin , meneteskan darah segar.
“Bertahanlah, sebentar lagi kita akan bertemu dengan Tuan Alkemis.” Ucap Alex.
Mereka mulai menapaki anak tangga dengan sangat hati-hati. Berjaga-jaga bila ada jebakan tak terduga di setiap pijakan. Dari jauh, Alex terus memantau keadaan kamarnya yang sudah berantakan. Yang ia takutkan, naga serigala itu tiba-tiba muncul dari lantai kamarnya dan kembali mengejar mereka. Tapi, sampai pada anak tangga terakhir, mereka tidak melihat tanda-tanda kemunculan naga serigala. Alex menghela nafas lega. “Syukurlah.”
“Sekarang bisakah kau menunjukkan dimana laboratorium tuan alkemis itu?”
Alex melayangkan pandangan ke sekujur ruangan. Tentu saja yang diharapkannya adalah lantai kayu dan dinding kusam dimana ruang lab Tuan Alkemis berada. Tapi yang ada di depan matanya malah semacam koridor hotel dengan lantai dilapisi karpet merah panjang. Dinding-dindingnya dihiasi lukisan-lukisan bergambar botol ramuan beraneka warna. Lampu-lampu berbentuk bintang menggantung di atapnya, berkelap-kelip begitu indah.
“Mungkin labnya sudah pindah ke sana.” Alex menunjuk ke ujung lorong, pintu beraksen perak berdiri tegak.
Entah kenapa Alex seperti mendengar dinding lorong itu berderak bagaikan tangga berkarat yang rapuh. Membuatnya semakin waspada menyusuri tiap jejak lorong panjang itu. Leon sendiri tidak mampu lagi menyembunyikan ketakutannya. Ia mengaitkan belalainya pada tangan Alex seolah butuh perlindungan.
“Alex..” bisik Leon, masih memandang gelisah tiap inchi dinding lorong.
“Ya?” sahut Alex Lirih.
“Apa kau merasakan ada yang aneh dengan tempat ini?”
Alex menggeleng ragu.
“Rasanya lukisan-lukisan itu mendekati kita…” Leon mengamati dinding berwarna merah itu lalu beradu pandang dengan Alex.
“Dindingnya bergeraaaak!” teriak Alex da Leon bersamaan.
“Lariiiiii!”
Alex dan Leon berusaha berlari secepat yang mereka mampu, menyusuri lorong panjang itu. Tapi semakin mereka berlari, dinding itu terasa semakin bergerak ke arah mereka. Baju Alex basah karena keringatnya merembes deras. Lukisan-lukisan di dinding lorong itu berjatuhan, botol-botol ramuan yang ada di dalamnya meloncat keluar dari lukisan dan pecah berhamburan membasahi karpet lantai.
“Cepat, Alex!!” Leon tersengal-sengal sambil mengguncangkan tubuh Alex ketika akhirnya mereka sampai di depan pintu perak itu.
Alex meraih gagang pintu dengan tergesa dan menggerakkanya, “Lagi-lagi terkunci?!”
“Ahhh!!” Leon menggeram bercampur rasa panik luar biasa. Dilihatnya dinding lorong itu semakin mendekat ke arah mereka dan rasanya beberapa saat lagi akan menghimpit tubuh mereka.
“Tunggu. Lihat ini!” Leon menatap gagang pintu berbentuk botol ramuan itu yang di dalamnya berbuih cairan bening mengilap. “Tertulis : ‘Teteskan Darahmu’.”
Tanpa pikir panjang, Alex menggigit ibu jarinya, meneteslah darah segar darinya. Kemudian tetesan darahnya dimasukan ke dalam botol itu. Darahnya lalu ikut melarut dengan cairan bening di dalamnya. Lambat laun cairan itu berubah menjadi merah darah. Alex dan Leon was-was menunggu reaksi yang akan terjadi.
“Pintunya tetap terkunci.” Alex mendengus kesal.
“Biar kucoba!” Leon menyentuhkan belalainya pada bagian tubuhnya yang tersayat dan berbekas darah, lalu meneteskan darahnya ke dalam botol ramuan itu. Cairan di dalam botol itu meledak-ledak dan mengeluarkan asap pekat. Seketika terdengar suara pintu berderit seolah sudah lama tidak dibuka. Pintu perak itu terbuka perlahan seiring suara berderak-derak dinding dan botol-botol berjatuhan ke lantai.
“Dindingnya akan membunuh kita!” Leon didesak rasa cemas, dinding itu telah resmi menyentuh sisi tubuh gempalnya.
“Aku sedang mencoba,” Alex mendorong pintu perak setebal tiga inchi itu sekuat tenaga. “Sia-sia. Pintunya bergerak terlalu pelan!!”
“Siaal!” Leon terus menepi pada Alex. Dinding itu tidak tinggal diam, seakan mengikuti tiap langkah Leon. “Kita akan mati!”
“Sudah terbuka.” Alex langsung melompat masuk melewati celah pintu seukuran badannya. “Aku akan menariknya dari dalam.”
“Cepatlah!!”
Hanya tinggal beberapa jengkal lagi, dinding itu akan menjepit tubuh Leon dengan sempurna.
“Ahhhh!” teriak Alex memfokuskan segala tenaganya pada pintu perak itu. “Berhasil!”
Pintu itu akhirnya terbuka sepenuhnya ketika tubuh Leon tersangkut dalam himpitan dinding pembunuh itu. “Tolooong!!”
Alex tidak berhenti sampai di situ, ia harus segera menyelamatkan Leon. Dengan sisa-sisa tenaganya, ia menarik belalai Leon agar gajah itu keluar dari himpitan dinding bergerak itu.

Buuk!!
Alex terhempas ke dalam ruangan ketika tubuh Leon terbebas dari dinding itu dan menubruknya cukup kencang.
“Yeah.. Aku selamat!” Leon berjingkat-jingkat penuh kelegaan.
Alex mengatur nafasnya yang naik turun sambil matanya menelusuri tiap sudut ruangan itu. Ruangan itu seluas kamar tidurnya. Kosong pada bagian tengahnya, tapi ada meja-meja panjang berwarna putih bertengger di tiap sisinya , seperti yang pernah ia lihat di dapur panti asuhan. Ruangan itu putih bersih, kecuali botol-botol berisi cairan beraneka warna yang terpajang di atas meja panjang itu. Lalu sebaris dengan botol-botol itu adalah kotak-kotak kaca berisi organ-organ tubuh manusia melayang dalam cairan pekat. Meski agak ketakutan, Alex harus tetap melangkah karena ia yakin pada barisan ramuan itu ada ramuan penawar yang dikatakan Tuan Alkemis. Tiba-tiba saja Alex teringat dengan Tuan Alkemis. Dimana dia, batinnya.
“Leon, aku akan memeriksa ramuan-ramuan di sebelah kiri dan kau di sebelah kanan. Mengerti?” tegas Alex.
Leon menyetujui dengan anggukan pelan. Mereka pun mulai menyusuri satu per satu ramuan di atas meja panjang itu. Alex merasa lega ketika melihat pada setiap botol tertera tulisan yang menunjukan identitas ramuan itu. Setidaknya itu memudahkannya menemukan ramuan penawar mimpi.
Tapi beberapa menit berlalu, Alex mulai kesal karena ramuan yang dicarinya tidak kunjung ketemu. Yang ada malah ramuan-ramuan aneh yang lebih tidak masuk di akal :
Ramuan Pengecil Tubuh
Ramuan Pengubah Suara
Ramuan Penambah Berat Badan…

Sampai akhirnya Alex melihat sebuah botol berisi cairan berwarna hitam tidak jauh darinya, tertulis : Antidote Ramuan Mimpi. “Itu dia.”
Tapi baru saja ia ingin menggapai ramuan itu, terdengar suara botol pecah di belakangnya.             “Ada apa, Leon?” Alex menoleh ke sumber suara.
Rupanya Leon baru saja menenggak sebotol ramuan berwarna keemasan. Alex bisa melihat tulisan yang tertera pada pecahan botol itu : Ramuan Pengembali Jasad.
“Apa yang kau minum?” Alex menghampiri Leon.
Seketika terjadi reaksi pada tubuh gajah kecil itu. Belalainya berkedut ringan, menciut, lalu terbenam pada wajah bulatnya. Kaki-kakinya juga ikut menciut dan warnanya berubah menjadi kuning langsat hingga tidak terlihat seperti kaki gajah lagi, tapi lebih mirip seperti tangan dan kaki keriput manusia. Ekor panjangnya memendek hingga akhirnya lenyap begitu saja. Tubuhnya yang gempal kini benar-benar mengecil menyerupai tubuh seorang manusia. Alex begitu terperangah ketika Leon telah berubah wujud menjadi sosok yang sangat ia kenal. Sosok kakek tua berkepala botak dengan jas laboratorium.
“Tuan Alkemis?!” spontan Alex berteriak kaget.
“Ssstt, jangan berisik!” kakek tua itu memicingkan matanya.
“Apa maksud semua ini?” Alex disergap kebingungan.
“Kau harusnya tahu sejak awal.” Tuan Alkemis perlahan mendekat.
Alex menatap dengan pandangan tak percaya, “Kau adalah Tuan Alkemis.”
“Hehehe. Laboratorium ini hanya bisa dibuka oleh pemiliknya, anak bodoh.” Senyum kelicikan mengembang di bibir kakek tua itu. Alex langsung teringat bagaimana darah Leon mampu membuka pintu laboratorium itu.
“Apa yang kau inginkan?” Alex terpaku dalam ketegangan.
“Jika saja aku bisa bermimpi, aku tidak perlu repot-repot menggunakan jasamu.” Tuan Alkemis mengelus kepala Alex. “Yang kubutuhkan hanya setetes cairan otakmu, anakku. Dengan begitu aku bisa mengendalikan mimpimu.”
Meski ketakutan mulai menjalari tubuhnya, Alex tidak bisa mematung begitu saja. Tinggal selangkah lagi ia akan terbebas dari mimpi aneh ini. Dengan cepat Alex berbalik dan menghampiri meja di belakangnya. Ramuan hitam itu harus menjadi miliknya.
“Terlambat!”
Alex begitu terkejut ketika Tuan Alkemis dengan cepat mendahuluinya dan botol itu sudah berada di tangannya. Gerakannya mungkin melebihi kecepatan cahaya.
“Kau heran?” Tuan Alkemis terkekeh. “Ternyata sebotol Ramuan Kecepatan cukup membantu.”
Tuan Alkemis seakan memainkan tempo permainannya. Ia melangkah mundur dan memamerkan ramuan penawar di tangannya.
“Kembalikaaan!!” Alex berteriak pasrah.
Tiba-tiba permainan mereka terhenti ketika auman naga serigala itu muncul lagi. Sekujur ruangan mulai mengalirkan getaran akibat auman itu.

Auuuuuu!!
Naga Serigala itu tiba-tiba muncul dari dasar lantai dan langsung membawa tubuh Tuan Alkemis ke angkasa. Alex bisa melihat Tuan Alkemis meronta-ronta minta pertolongan tapi Naga Serigala itu melahapnya tanpa ampun. Kemudian tiba-tiba dari atas sana, dimana Naga tu berada, Alex melihat kilau cahaya jatuh perlahan mendekatinya. Dengan cekatan Alex menangkap cahaya itu yang rupanya sebuah botol bertuliskan ‘Antidote Ramuan Mimpi’. Kontan wajah Alex berubah cerah. Lalu tanpa basa-basi ia langsung menenggak cairan itu hingga tak tersisa.

***
“Alex.” Bisik Bibi Lupita, pemilik panti asuhan dimana Alex tinggal.
Alex mengerjapkan matanya, lamunannya buyar seketika.
“Ini Tuan Leon Collette.” Bibi Lupita memperkenalkan seorang pria tua di hadapannya. “Pria inilah yang akan mengadopsimu.”
Di hadapan Alex, berdiri sesosok kakek tua berkepala botak yang sangat ia kenal. Tuan Alkemis.
“Maaf, aku tidak mau diadopsi, “ ujar Alex. “Aku rasa aku sudah betah berada di panti asuhan ini.”
“Dan lagipula, aku tidak ingin berhenti bermimpi.” tukas Alex.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar