Ini adalah ikhtisar dari salah satu bab yang ada di dalam buku “Titik Ba Paradigma Revolusioner Dalam Kehidupan Dan Pembelajaran”. Karangan Ahmad Thoha Faz. Buku ini cukup menarik untuk di baca, karena banyak penjelasan-penjelasan yang akan menyadarkan diri kita tentang kehidupan. Tidak usah panjang lebar, sekarang silahkan di baca ikhtisarnya…. Cekidoootttttt… eh, salah.. Check this out… Heheeeee….
SIAPA
MENGENAL DIRINYA, DIA MENGENAL TUHANNYA
“Saya
selalu bersama diri saya, sehingga saya sendiri yang selalu menjadi penghibur
atau penyiksa saya”. Sebagai manusia sudah sewajarnyalah kita tahu siapa diri
saya, bukan bertanya pada orang lain siapa diri saya?.
Bagi
orang yang tahu ‘diri’-nya
mereka akan mempunyai pilihan yang layak pada setiap masalah yang dihadapinya .
Misalnya, kalau anda tidak menyukai lingkungan tempat tinggal yang bebas, maka
ubahlah. Kalau merasa hal itu tidak dapat dirubah, ya terimalah. Kalu tidak
terima, ya keluarlah.
Kita
tidak dapat mengubah siapapun kecuali diri kita. Segala sesuatu yang terjadi
pada diri kita sebenarnya bukan terjadi karena orang lain, tetapi terjadi karena persetujuan dari diri kita sendiri.
“Sadarilah secara mendalam bahwa moment saat
ini adalah segala yang pernah anda punya”, kata Eckhart Tolle. Otak tidak bisa membedakan
antara fakta dan ingatan, mimpi dan imajinasi. Imajinasi pada masa lalu tidak
terlalu berbeda dengan kenangan pada masa depan, keduanya tidak disini. Masa
lalu adalah gelap dan masa depan penuh misteri, sebab kita hanya menyadari
hidup pada titik kesadaran saat ini.
Bicara
tentang kesadaran dan materi, kaum spiritualis lebih mengedepankan kesadaran,
sedangkan kaum materialis mereka lebih mengedepankan materi. Apakah di balik
kesadaran ada materi, atau di balik materi ada kesadaran? Apakah cantik yang
membuat anda jatuh cinta pada calon istri anda, ataukah jatuh cinta yang
membuat calon istri anda tampak cantik?. Kesadaran anda itulah yang memilihkan
realitas khusus bagi diri anda.
Kesadaran
merupakan hal paling misterius yang dihadapi pengetahuan manusia, karena
kesadaran tidak dapat di diskripsikan maupun di definisikan. Sebab, meskipun
fenomena yang di lihat
sama tetapi informasi yang diperoleh berbeda bagi setiap individunya. Dengan
kata lain, kesadaran benar-benar unik dan subjektif sehingga informasi apapun
bersifat asimetris. Akibatnya, semua orang boleh melihat dunia yang sama, tapi
mereka menghayati permainan yang berbeda.
Guna
meluaskan kesadaran, man of wisdom
menempuh jalan meditasi & hidup suci, sementara man of reason dengan observasi & eksperimentasi. Dalam
terminologi kalangan pesantren “kiri” adalah pendekatan rasional argumentatif,
sedangkan “kanan” adalah pendekatan pemahaman yang bertumpu pada pengalaman
batin dan intuisi.
Apabila
sungguh-sungguh dalam berfikir,
kita pasti akan dikejutkan oleh pemahaman yang bersifat paradoksal (menentang
pikiran lazim) yang membuat kita bingung. Kebingungan itu terjadi ketika
kesadaran kita menabrak batas. Tetapi saat-saat itu adalah waktu yang paling
tepat untuk menelusuri kepenjelasan yang lebih hakiki.
Mereka
yang sudah terbuka dengan paradigma baru (pertemuan materialisme &
spiritualiisme) itu menyadari bahwa tatkala sains masih meraba-raba dalam kegelapan, spiritualisme telah
menyadari kebenaran. “kita harus melihat agar kita dapat percaya” begitu ajaran sains,
namun kita pun harus percaya agar kita dapat melihat. Kita hendaknya belajar
lebih terbuka terhadap kebenaran, dan tidak mudah memvonis sesuatu itu tidak
masuk akal karena kita sendiri tidak memahaminya.
Hubungan
antara spiritualitas &
agama membuktikan kesimpulan yang paradoksal. Banyak orang yang tak beragama,
tetapi memiliki kualitas spiritual sangat tinggi, memiliki pengalaman keagamaan
lebih banyak berada di luar batas-batas arus utama keagamaan dari pada
orang-orang yang mengaku beragama.
Penemuan
“God Spot” pada otak bagian lobus di anggap sebagai landasan bahwa manusia
memang secara alamiah sudah mengenal tuhan. Karena itu, kita tidak mungkin
menjadi ateis. Mungkin saja kita tidak beragama secara formal, tapi tidak
mungkin kita kehilangan spiritualitas.
“Dunia,
mimpi yang dinikmati bersama; mimpi, dunia yang dinikmati sendirian”. Mimpi
merupakan “fenomena kesadaran” yang di dapat saat kita tidur. Menurut teori
Freud, mimpi itu sama halnya keliru-ucap dan ritus-obsesional-tidak lebih
merupakan ekspresi ketidaksadaran tatkala pintu-pintu kesadaran tidak dapat
menyalurkannya.
Saat
kita bermimpi, kita tidak tahu kalau kita sedang bermimpi, kecuali bagi mereka
yang sedang memiliki kesadaran tinggi ketika itu. Hanya setelah sadar baru kita
dapat mengenali mimpi sebagai mimpi. Orang yang tidak menyadari bahwa hidup ini
hanya sejenis mimpi berarti dia belum bangun. Kita semua saat ini sebenarnya
sedang tidur dan bermimpi. Ketika mati kita terbangun. Sebab, kita dapat
menyadari dengan gamblang bahwa pengalaman sebelumnya hanya mimpi. Kematian
merupakan awal dimulainya realitas hakiki, tempat orang bangun dan tidak bisa
lagi tidur panjang di dunia.
Isyarat
tidak hanya di dapat melalui mimpi. Pandangan menembus sekat waktu tidak hanya
dapat diperoleh dalam ketidaksadaran, tapi juga dalam kesadaran yang biasa di
sebut firasat (pandangan batin) atau intuisi ( suara hati).
Ujung dari sebuah keyakinan adalah tindakan, tanpa
tindakan berarti kita tidak yakin. Agama sebagai pengalaman menjadi kategori yang
lebih penting daripada agama sebagai rumusan atau pemahaman. Seseorang tidak
cukup memikirkan atau merasakan agamanya, melainkan harus hidup di dalam
agamanya sedapat mungkin. Jika tidak, agama baginya hanya sekedar fantasi atau
filsafat kosong.
Tidak semua yang dipelajari bisa di ajarkan, selalu
ada sisi-sisi lain yang tidak bisa di ajarkan di bangku kelas, yang hanya bisa
ditemukan sendiri dengan pengamalan dan pengalaman. Tidak sedikit kata-kata
yang kita baca di buku pada hakikatnya hanya lambang tanpa arti. Kata ‘miskin’
belum berarti apa-apa. Jika anda ingin mengetahui makna itu, maka hiduplah
bersama mereka yang hidup di kolong jembatan. Lihatlah orang miskin orang per
orang, dan hayati kemiskinan mereka.
Kita tidak harus selalu benar dalam setiap langkahnya,
tetapi kita harus selalu mencari jalan keluar. Tindakan adalah langkah terakhir
dan penentu dalam seluruh proses pembelajaran. Hasil akhir yang bernilai namun
belum pasti, selalu memerlukan keberanian untuk memulai. Sebenarnya, keberanian
bukan ketiadaan rasa takut, melainkan penilaian bahwa ada sesuatu yang lebih
penting daripada ketakutan itu sendiri. Jika kita mau berfikir sedikit jernih,
walaupun risiko gagal 99%, namun risiko gagal karena tidak mencoba adalah 100%.
Setelah tindakan pertama dimulai, yang diperlukan selanjutnya adalah keuletan
dan keteguhan hati untuk menerjang gelombang demi gelombang menuju tujuan.
*Kalau anda merasa tertarik, cari saja bukunya.. dan
bacalah…., SELAMAT MEMBACA…!!, Oia, Ada satu lagi… saya mohon kritik dan sarannya
untuk blog ini… Sebelumnya terimakasih yang sudah mau membaca dan berkomentar….
Tidak ada komentar:
Posting Komentar